Suku Sunda
adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia,
yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat,Banten, Jakarta, dan
Lampung. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian kecil yang
beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan
masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan
dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat
dikategorikan sebagai suku Sunda. Orang Sunda dikenal memiliki sifat
optimistis, ramah, sopan, dan riang. Karakter orang Sunda yang periang dan suka
bercanda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam cerita Sunda yaitu
Kabayan dan tokoh populer dalam wayang golek yaitu Cepot, anaknya Semar. Mereka
bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal. Orang
sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara
sejajar dengan bangsa lain.
Mayoritas
masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini disebabkan tanah
Sunda yang subur. Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang
berladang secara berpindah-pindah. Selain bertani, masyarakat Sunda seringkali
memilih untuk menjadi pengusaha dan pedagang sebagai mata pencariannya,
meskipun kebanyakan berupa wirausaha kecil-kecilan yang sederhana, seperti
menjadi penjaja makanan keliling, membuka warung atau rumah makan, membuka toko
barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau membuka usaha cukur rambut, di
daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha percetakan, distro, cafe, rental
mobil dan jual beli kendaraan bekas. Profesi pedagang keliling banyak pula
dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut. Profesi
lainnya yang banyak dilakoni oleh orang Sunda adalah sebagai pegawai negeri,
penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.
Ø
Etimologi
Menurut
Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund
atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar,
terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno
(Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian: bersih,
suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada
(Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut
ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor
Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa
Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan
negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan
perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan
Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Ø
Hubungan antara sesama manusia
Hubungan antara
manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus
dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus
saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga
tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan,
kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan
berikut ini:
§
Kawas gula jeung peueut yang artinya hidup harus
rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
§
Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya
jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
§
Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya
jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
§
Ulah nyolok mata buncelik yang artinya jangan
berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
§
Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun
besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua
tentu dapat mengampuninya.
Ø
Hubungan antara manusia dengan negara dan
bangsanya
Hubungan antara
manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda,
hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan
menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat
untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga
solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda
terpancar dalam ungkapan-ungkapan:
§
Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara,
mupakat ka balarea (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan
negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
§
Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
(bersama-sama dalam suka dan duka).
§
Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon
pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun)
Ø
Rumah Adat
Secara
tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8
m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua
usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya
digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi,
kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan
sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang
terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak
tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam
rumah.
Ditilik dari
segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki
pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang
Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan
rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern
lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari
ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah
menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat
jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang
digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan
lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk
tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas
orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata
dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Ø
Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga
dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak
dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi
adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda
dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan
hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan
langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao,
canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua,
saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman,
bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga,
saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti
keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda
dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya
kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia.
Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.
Ø
Bahasa
Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk
bahasa untuk membedakan golongan usia dan status sosial antara lain yaitu :
1. Bahasa Sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan
untuk berbicara dengan orang tua, orang yang dituakan atau disegani.
2. Bahasa Sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik
usia maupun status sosialnya.
3. Bahasa Sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau
kepada orang yang status sosialnya lebih rendah.
Namun demikian, di Serang, dan Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa
tingkatan kasar) digunakan oleh etnik pendatang dari Jawa.
Sumber :